artikel ini berisi tentang penjelasan Tgk H Mulyadi Nurdin Lc dan Syech H Zul Anshary Lc dalam pengajian Balee Beuet di Rumoh Aceh Kopi Luwak, Jeulingke, tentang kisah-kisah bencana dalam Alquran dan hadits Rasulullah SAW.Materi ini dibahas panjang lebar dalam pengajian rutin di Rumoh Aceh Kopi Luwak, Jeulingke, Banda Aceh, Rabu (18/04/2012). Pengajian kali ini lebih ramai dari biasanya. Selain peserta rutin, di antaranya pemilik Warung Kopi Luwak Rumoh Aceh, Muhammad Nur, Kolektor Naskah Kuno Aceh Tarmizi A Hamid, hadir juga dosen IAIN Ar-Raniry Drs Hasan Basri M Nur MAg dan Hermansyah M.Hum serta kalangan jurnalis, mahasiswa, dan para pekerja lepas.
Dari sisi ilmu alam, gempa adalah fenomena alam. Tapi bagi kita seorang muslim dan mukmin, peristiwa semacam ini adalah peringatan dan pelajaran bagi manusia.
Bahwa manusia tidak berarti apa-apa di depan Allah, Sang Pencipta Alam Semesta.
“Bagaimana pun tingginya ilmu pengetahuan dan canggihnya teknologi yang dihasilkan manusia, tidak ada yang mampu menghentikan bencana yang telah ditakdirkan oleh Allah. Belum pernah ada dalam sejarah, manusia mampu menghentikan goyangan bumi akibat gempa. Bahkan, jangankan mengantisipasi gempa, memprediksikan kapan dan di mana gempa terjadi saja, banyak yang tidak akurat,” kata Mulyadi Nurdin.
Selebihnya, kedua
alumnus Al-Azhar Mesir ini bercerita panjang lebar tentang kisah peristiwa bencana alam yang menimpa kaum (umat nabi) terdahulu. Salah satu surat dalam Alquran yang paling banyak mengisahkan tentang bencana adalah di surat Az-Zariyat, khususnya mulai ayat 31 sampai ayat 46, yang menceritakan secara runut tentang bencana yang menimpa kaum lima nabi terdahulu.
Umat Nabi Nuh ditenggalamkan dengan air bah
Umat Nabi Luth (Kaum Sodom) dibinasakan dengan batu ‘api neraka’ dan buminya dibalik (bagian atas ke bawah)
Umat Nabi Musa (Fir’aun dan pengikutnya) dibinasakan dalam laut
Umat Nabi Hud (Kaum ‘Ad) dibinasakan dengan angin topan
Umat Nabi Shaleh (Kaum Tsamud) dibinasakan dengan petir
“Seluruh kaum itu punah tak bersisa. Jika tidak ada kisah dalam Alquran, kita tentu tidak akan tahu bahwa bencana besar itu pernah terjadi, karena tidak ada catatan lain selain dalam Kitab Allah, terutama yang paling lengkap di dalam Alquran,” kata Mulyadi.
Sesi diskusi berlangsung hangat, karena kedua dosen IAIN Ar-Raniry, Hasan Basri dan Hermansyah, ikut berbicara dan melontarkan bahan diskusi, terutama seputar letak geografis Aceh yang sangat rentan dengan bencana gempa dan tsunami.
Peneliti naskah kuno (Filolog) Aceh, Hermansyah yang ditanyai tentang “catatan peristiwa bencana di Aceh dalam kitab kuno” menjelaskan, tidak selamanya gempa itu membawa dampak buruk kepada penduduk negeri.
Berdasarkan literatur kuno, kata Hermansyah, bencana-bencana besar seperti gempa bumi dan tsunami yang menghantam Aceh dan puluhan negara pada 26 Desember 2004 lalu, sudah pernah terjadi di Aceh.
Catatan tersebut mulai terekam dengan catatan gempa kuat pernah mnggoyang Aceh pada tahun 1797. Sementara pada tahun 1833 pernah terjadi gempa dan tsunami di Aceh. Dari enam versi naskah takbir gempa yang masih tersisa di sejumlah wilayah di Aceh, disebut “air laut bersalahan (keras) padanya di negeri itu.”
Sebelumnya tahun 1832 Masehi, Zawiyah Tanoh Abee mencatat gempa terbesar yang kedua kali, tepatnya pada hari Kamis 9 Jumadil Akhir 1248 H. “Ini catatan resmi karena ditulis di sampul naskah fikih Fath al Wahhab bi Syarh Manhaj Attullab, karangan Abu Yahya Zakaria As-Syafii,” kata Hermansyah, alumnus Aligarh Muslim University India.
Selain dari naskah kitab kuno, Hermansyah juga mendapati catatan tentang bencana besar tercatat dalam dokumen Belanda yang dikoleksi oleh Van De Tuuk, menyebutkan pada tahun 1861 masehi, gempa tektonik menghancurkan kota Singkil.
Sementara pada tahun 1906 terjadi gempa dan tsunami di wilayah Simeulue, yang oleh masyarakat setempat disebut “Smong”. Peristiwa ini tercatat dalam kolofon naskah kuno takbir gempa.
“Berdasarkan catatan manuskrip, di beberapa lokasi gempa membawa berkah bagi penduduknya, sesuai dengan geografis. Catatan ulama terdahulu misalnya menyebutkan pada tahun terjadi gempa besar, ternyata hasil pertanian jauh lebih baik, dan lain sebagainya. Tapi di belahan negeri lain, banyak yang meninggal dalam bencana tersebut. Pada dasarnya, inti dari Tabir Gempa adalah transfer knowledge kepada generasi penerus,” ujar Hermansyah.
Ramalan atau Rekaman?
Terkait dengan catatan bencana dalam beberapa naskah kuno yang kerap mengait-ngaitkan bencana alam dengan bencana susulan, Tgk Mulyadi Nurdin mengatakan, jangan pernah meramal peristiwa yang akan terjadi setelah terjadinya bencana. “Karena Rasulullah sudah tegas menyatakan bahwa ahli nujum itu pendusta, meski yang dia katakan benar,” katanya mengutip hadits Rasulullah.
Bagaimana dengan takwil gempa yang banyak tercatat dalam naskah kuno? “Kita harus pelajari dengan seksama, apakah itu adalah ramalan? Atau sekadar catatan dari teori pengulangan. Misalnya, sang pengarang kitab mencatat suatu bencana gempa terjadi lalu diikuti oleh kejadian-kejadian lainnya, ini kan berbeda dengan ramalan. Jadi sebaiknya kita membaca kitab secara utuh, jangan sepenggal-penggal,” kata Tgk Mulyadi.
Syech Zul Anshary menambahkan, teori pengulangan bisa menjadi pelajaran bagi umat manusia sekarang untuk selalu berhati-hati dan meningkatkan keimanan kepada Allah Swt. “Yang tidak boleh adalah, kita mengklaim bahwa jika terjadi gempa pada waktu tertentu, maka negeri itu akan ditimpa musibah atau perang dan sebagainya. Itu tidak boleh, karena ini masuk dalam katagori ramalan,” ujarnya.
Hasan Basri berpendapat, bencana adalah contoh kecil tentang kiamat, bahwa kiamat yang sebenarnya akan terjadi. Manusia, terutama umat Islam, harus menjadikan bencana ini sebagai peringatan bahwa manusia tidak berarti apa-apa di hadapan Allah.
“Baru kiamat (bencana) kecil saja, kita sudah tidak bisa menyelamatkan diri, lalu apakah kita siap untuk menghadapi kiamat yang sesungguhnya? Maka di balik semua bencana yang diberikan Allah, apakah itu peringatan atau bala, semua itu harus menjadi sarana bagi kita untuk meningkatkan keimanan terhadap Allah Subhanahuwata’ala,” ujarnya.
Di akhir Syech Zul Anshary dan Tgk Mulyadi Nurdin, berharap kepada para anggota majelis pengajian agar senantiasa berpegang teguh kepada Alquran dan hadits Rasulullah Saw. dalam menyikapi bencana yang terjadi.
“Kita perdalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu Alquran dan hadits, karena di kedua warisan Rasulullah itu banyak terkandung doa-doa dalam menyikapi dan menghadapi bencana,” kata Tgk Mulyadi.